BOGOR RAYA | BOGOR
Pemerintah secara resmi menunjuk Lion Air sebagai maskapai baru yang akan melayani angkutan udara jemaah haji asal Indonesia pada musim haji 2025. Dengan demikian, Lion Air akan bergabung bersama dua maskapai lain, yakni Garuda Indonesia dan Saudi Arabian Airlines.
Anggota Komisi VIII DPR RI, Mahdalena, menyambut positif penambahan maskapai tersebut. Menurutnya, bergabungnya Lion Air diharapkan dapat mengurangi potensi keterlambatan (delay) penerbangan yang selama ini menjadi tantangan dalam penyelenggaraan ibadah haji.
“Kehadiran Lion Air akan menambah armada penerbangan, sehingga jadwal keberangkatan dan kepulangan jemaah menjadi lebih lancar,” ujar Mahdalena, Minggu (5/1).
Namun, Mahdalena mengingatkan agar Lion Air memberikan harga yang kompetitif. “Jika harga tiket lebih mahal dibandingkan Garuda Indonesia atau Saudi Airlines, bisa jadi maskapai ini tidak akan digunakan lagi,” katanya.
Selain itu, ia juga meminta semua maskapai yang terlibat dalam angkutan haji untuk transparan dalam menyampaikan rincian biaya. Hal ini dinilai penting agar biaya penyelenggaraan ibadah haji dapat dianalisis lebih baik dan, jika memungkinkan, ditekan.
Pengalaman Lion Air dalam Layanan Umrah dan Haji
Direktur Operasional Lion Air Group, Captain Daniel Putut Adi Kuncoro, menyampaikan rasa syukur atas penunjukan tersebut. Dalam rapat Panitia Kerja (Panja) Biaya Haji Komisi VIII DPR RI pada Kamis (2/1), Daniel menjelaskan bahwa Lion Air memiliki pengalaman panjang melayani jemaah umrah sejak 2009.
“Lion Air juga pernah menyewakan pesawat wide body ke Flynas untuk melayani jemaah haji dari Asia, Eropa, dan Afrika,” ungkapnya.
Isu Potensi Konflik Kepentingan
Meski demikian, penunjukan Lion Air juga mendapat sorotan. Peneliti Themis Indonesia, Ibnu Syamsu Hidayat, menilai bahwa keputusan ini berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Hal itu karena Rusdi Kirana, bos Lion Air, saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI dan juga merupakan Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
“Perlu penjelasan yang transparan terkait mekanisme penunjukan ini untuk menghindari persepsi adanya benturan kepentingan,” kata Ibnu.
Ketua IM57+ Institute, Lakso Anindito, juga menekankan pentingnya prinsip pencegahan konflik kepentingan dalam proses pengambilan keputusan terkait layanan haji. “Para pengambil kebijakan harus memastikan tidak ada afiliasi langsung maupun tidak langsung dengan Lion Air,” ujarnya.
Lakso menambahkan, pengelolaan transportasi jemaah haji merupakan bisnis strategis, mengingat Indonesia adalah negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Oleh karena itu, keputusan yang menyangkut hal ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati untuk memastikan integritas dan kepercayaan publik tetap terjaga. (Rb/Fj)